Sekali lagi Kamelia menengok punggungnya seraya bercermin di cermin bundar besar yang melayang di hadapannya. Dilihat-lihat memang tidak pernah berubh – matanya yang belo dan indah, rambut coklat pirang yang terurai, badan yang cukup tinggi dan langsing – untuk umurnya yang baru menginjak 12 tahun. Tak ada yang kurang dari dirinya, bahkan nilai-nilai sekolahnya pun bagus. Namun selalu ada yang membuat dirinya merasa berbeda.
Disaat teman-temannya bermain dan kejar-kejaran, ia hanya duduk mematung di kursi. Saat yang lain melaksanakan tugas peri bunga, ia hanya melihat dari bawah. Ia bingung, tak melakukan apa-apa – bukan karena tak mau, tetapi memang tidak bisa. Terlebih lagi, sepertinya ia memang ditakdirkan untuk tidak bisa. Kamelia tidak punya sayap untuk terbang.
“Percuma saja.”ucap Kamelia lesu,”Mau dilihat sampai kapanpun, tetap saja tak akan ‘tumbuh’.” Genggamannya ia lepaskan dari punggungnya. Yang ia maksud ‘tumbuh’ adalah sepasang sayapnya. Para peri lain selalu punya sepasang undakan di punggungnya saat kecil, yang akan keluar sayapnya apabila sudah mencapai 10 tahun. Namun, yang ia lihat di punggungnya hanyalah undakan kecil seperti makhluk bernama manusia. Kadang ia malah berpikir dirinya adalah manusia.
Dalam risaunya, ia tidak segera berkemas, tetapi malah menyembunyikan diri di balik selimut. Semakin terbayang olehnya kehidupan SMP (Sekolah Menengah Peri) yang akan dijalaninya, setelah menyelesaikan SDP (Sekolah Dasar Peri). Dirinya pasti akan dicela, ditertawakan, dan dianggap remeh lagi seperti dulu-karena bagi peri, sayap adalah mahkota mereka. Apalagi, bila seseorang lantas mengucapkan bahwa Kamelia ialah manusia, bukannya peri bunga.
Tapi yang sangat dikhawatirkannya itu belum seberapa. Sebelum hari pertama masuk sekolah di SMP, murid serta guru-guru diundang ke “Pesta Peri Tahun Ajaran Baru”. Kalau di negeri manusia, pesta itu adalah MOS. Bedanya, pesta itu diadakan di malam hari, diatas ladang bunga, dan mengundang kunang-kunang sebagai lampu pesta.
Lamunan Kamelia terhenti sejenak dengan kedatangan seorang wanita cantik berambut keemasan dan bersinar datang menghampirinya. Ia adalah ibunya, Mama Laura.
“Lho, kamu nggak siap-siap ke pesta, Sayang? Ini sudah hamper jam 8 lho..”ucap Mama penuh kasih sayang.
“Ma, kenapa Ma, kenapa hanya aku yang tidak punya sayap? Padahal, aku punya Mama yang bersayap cantik seperti ini. Sepertinya hanya aku yang tidak punya. Apakah..apa benar kalau sebenarnya aku anak manusia?”curhat Kamelia sampai menitikkan air mata. “Aku pasti akan dikucilkan di SMP – setelah itu, aku akan dikucilkan selamanya.”
Mama tersentak dengan curhat Kamelia. “Kamel, kamu tidak boleh seperti itu.. Ingat, walaupun sayap adalah mahkota peri, namun sayap bukanlah segala-galanya bagi peri yang bijak. Mama yakin kamupun bisa seperti itu. Sayap tidak mencerminkan hati seseorang, kan?”jelas Mama sabar.
Kamelia tetap merunduk, tetapi mengusap air matanya.
“Nah, sekarang, pergilah ke pesta. Kau akan dapat jawabannya disana. Mama sudah siapkan kamu gaun yang indaah sekali. Setelah itu Mama akan mengantarmu.”
Mama membantu Kamelia mengenakan gaunnya. Cantiik sekali. Tanpa riasan pun, wajah Kamelia sangat manis – walau rautnya sedih. Setelah itu, Mama mengatar Kamelia ke ladang bunga.
Setelah mengecup pipi Mama, Kamel berpaling ke belakang dan melihat. Wajahnya terpukau oleh ladang bunga, kunang-kunang, dan pakaian peri yang bersinar. Mereka sedang terbang sambil berdansa, menghiraukan Kamelia yang tak terlihat karena tertutup bunga.
Kamelia hanya duduk-duduk di meja makan sambil menonton mereka. Kadang-kadang ia memesan minuman.
Tanpa sepengetahuannya, segerombolan peri-peri datang menghampiri Kamelia. Membawa aura niat buruk.
“Hi! Kenalan dong! Aku Kimberly. Kamu?”ucapnya pura-pura ramah. Kamelia mengeryit, melihat sepasang sayap yang indah, tapi tidak sesuai dengan wajahnya yang tidak terlalu cantik. Tapi ia senang ada yang menyapanya.
“Aku… Kameila. Panggil saja Kamel.”jawabnya sambil tersenyum manis. Membuat Kimberly iri.
Kimberly melihat punggung Kamelia yang kosong – pura-pura baru mengetahuinya, “Lho, kamu… ups. Nggak jadi, deh. Ayo ikut aku keatas!” Kimberly menarik tangan Kamel dan mengangkatnya.
“Ta…tapi.. aku tidak bisa…”ucap Kameila ketakutan. “Tidak bisa apa? Ayo!”ucap Kimberly sambil tersenyum sinis, dan terus mengangkatnya. “Aku tidak punya..”teriak Kameila yang tersendat-sendat karena tersantuk batang dan daun bunga. Kimberly terus mengangkatnya sampai di atas bunga.
Kimberly kembali pura-pura menengok punggung Kameila, dan menepuk dahinya. “Oh iya, ya. Kamu kan nggak punya sayap! Haha… liat deh tampangmu yang kusut tersantuk bunga-bunga!” teriak Kimberly, mengundang tawa peri lain, “Yaudah, sana kebawah lagi!”
“Eh…!” Kameila terkejut ketika Kimberly melepas genggamannya.
“Tolong…!”
“Ah!”
“Ouch!”
“Ugh!!”
‘Brak!!’
Kameila kembali berada di tanah yang keras, lengan bajunya sobek akibat batang dan daun yang tajam. Kameila bergegas berdiri.
“Untung aku tidak apa-apa. Tapi, bajuku yang indah ini…”keluhnya.
Namun seketika Kameila melihat keadaan sekelilingnya yang berbeda dengan tempatnya semula. Ada sebuah cahaya berkilauan tidak jauh darinya. Karena penasaran, Kameila menuju kearah cahaya itu, dan mendapati sesuatu yang tak terduga.
Ruangan pesta penuh dengan peri yang sama dengannnya. Peri tak bersayap!
“Hai! Selamat datang! Ayo bergabung dengan kami, Nak!”ajak seseorang kepadanya. Kameila disambut baik oleh semua peri disana. Kameila yang kaget hanya mematung. Ternyata dia tak sendiri.
Semuanya tidak bersayap, namun wajah mereka selalu terlihat ceria dan tidak ada beban.
“Nak?”peri cantik yang mengajaknya tadi terheran-heran. Ia memang sudah tua – setua ibunya – namun cantik dan terlihat muda.
“Ayo, Sayang, semuanya sedang bersenang-senang..”
“I…iya Mam..”jawah Kameila malu-malu. Kameila pun bergabung dengan mereka.
Perasaan bahagia yang tak terkira menyelimutinya. Ia menikmati pesta tersebut hingga penghujung acara,“Terimakasih, Mam, sudah menemaniku sejak tadi. Mam, aku ingin tanya sesuatu…”ucap Kameila. “Sama-sama Sayang, saya juga senang menemanimu. Tapi, ada apa ya, Sayang?”jawab peri itu dengan hangat.
“Mengapa… mengapa semua orang disini bersuka cita, padahal mereka berbeda – mereka tak bisa terbang, tak punya sayap. Pasti mereka juga direndahkan, sama sepertiku.”tanya Kameila.
Peri itu menatap wajah kesepian Kameila, lalu menjelaskan, “Sayang, bisa terbang memang anugerah yang indah, namun keadaan paling sempurna adalah bisa berdiri dengan baik, duduk, tidur. Tahukah,Nak, anugerah yang kita punya yang tidak mereka punya adalah kaki yang sempurna. Peri yang bersayap jarang menginjakkan kaki ke tanah dengan baik, sehingga kaki mereka banyak yang mengalami kecacatan. Lagipula, banyak yang bisa dilakukan peri seperti kita dibandingkan peri yang terbang. Kitalah yang paling sempurna, Sayang…”
Kameila mendengarkan dengan sungguh-sungguh. “..Bukankah Tuhan menciptakan kita saling melengkapi? Jika semua makhluk punya sayap untuk terbang, untuk apa anugerah Tuhan di dalam daratan serta lautan ini?”terus peri itu.
Kameila terkesima mendengar penjelasan peri itu. Sedangkan semua orang sudah meninggalkan pesta.
“Kalau begitu, sekarang pulanglah. Orangtuamu akan khawatir..”
“I…iya Mam, terimakasih banyak. Aku pulang dulu…”jawab Kameila seraya berbalik dan hendak berjalan.
“Nak.”panggil peri itu sambil tersenyum, “Sampai jumpa besok. Panggil aku Ibu Kepala Sekolah… Bu Jasmine.”
Langkah Kameila terhenti. Ternyata peri itu kepala sekolahnya! Sekolah peri dipimpin oleh peri yang tidak bisa terbang. Kameila kembali berbalik dan tersenyum, “Baik, Bu Jasmine.”
Kameila tak berani meminta ibu untuk menjemputnya, atau ibu akan tahu bajunya sobek. Jadi, ia berjalan pulang sendirian. Namun, ia juga tak sabar memberitahu ibunya soal pestia ini, serta tak sabar untuk hari pertamanya di SMP esok hari. Ia amat gembira karena mendapat pelajaran terpenting dalam hidupnya.
Di jalan, ia melihat beberapa semut yang kecil berjalan sambil membawa ulat. Ya, semut-semut itu akan merawat ulat hingga menjadi kupu-kupu yang sduah sanggup terbang dan mencari madu, juga nectar. Sebagai balas budi, kupu-kupu akan membawakan madu kepada para semut yang telah berjasa merawatnya di dalam tanah yang gelap.
Dalam hati, Kamel tersenyum puas, “Benar kata Bu Jasmine. Kita semua saling melengkapi.”
Dzikrina Nurunisa, 22 Agustus 2010.
0 comments:
Post a Comment